Skandal Merah Putih One for All Curi Aset Kreator Pakistan?

KabaRakyat.web.id - Film animasi Merah Putih: One for All menjadi sorotan publik. Rencana tayang pada 14 Agustus 2025 memicu kontroversi. Netizen menyoroti dugaan plagiarisme aset dan ketidaksinkronan pernyataan tim produksi.
Diproduksi Perfiki Kreasindo, film ini bertema nasionalisme. Namun, kualitas visual dan proses produksi menuai kritik. Warganet geram atas temuan aset karakter yang diduga bukan orisinal.
Anggaran Rp6,7 miliar dipertanyakan. Produksi kilat dalam dua bulan dinilai merusak kualitas. Sobat KabaRakyat, berikut fakta-fakta di balik kontroversi ini.
Dugaan Plagiarisme Aset Animasi
Netizen menemukan kemiripan karakter film dengan aset Reallusion. Platform ini menjual model 3D dengan harga murah, mulai USD10. Karakter seperti Jayden karya Junaid Miran disorot.
Junaid Miran, desainer asal Pakistan, mengaku tidak dibayar. Ia menyebut karakternya digunakan tanpa izin. Tangkapan layar dari ArtStation-nya menunjukkan kemiripan nyata.
Sobat KabaRakyat, unggahan Miran di YouTube memperkuat tuduhan. Karakter film hanya dimodifikasi sedikit, seperti rambut. Ini memicu kemarahan warganet atas kurangnya orisinalitas.
Sebagian netizen membela, menyebut pembelian aset sah. Namun, minimnya kredit kepada kreator asli tetap jadi masalah. Transparansi produksi kini dipertanyakan.
Kritik juga menyasar latar belakang film. Beberapa adegan menampilkan setting tak sesuai nuansa Indonesia, seperti jalanan bergaya Mumbai. Hal ini memperburuk persepsi publik.
Ketidaksinkronan Pernyataan Tim Produksi
Sutradara Endiarto dan Bintang mengklaim produksi hanya dua bulan. Mereka menyebut minim biaya, mengandalkan tenaga sukarela. Pernyataan ini mengejutkan banyak pihak.
Sebaliknya, produser Toto Soegriwo menyebut anggaran Rp6,7 miliar. Ia mengatakan produksi direncanakan selama setahun. Ketidaksinkronan ini memicu spekulasi netizen.
Sobat KabaRakyat, perbedaan pernyataan menimbulkan kebingungan. Publik bertanya-tanya mana yang benar. Apakah anggaran besar atau produksi ala kadarnya?
Biaya promosi dan penayangan bioskop tak mungkin nol. Studio kecil harus membayar jutaan per penayangan. Ini memperkuat keraguan atas klaim “nol biaya”.
Netizen menilai proses kilat merusak kualitas. Produksi animasi biasanya butuh bertahun-tahun. Waktu dua bulan dinilai tak realistis untuk film layar lebar.
Dampak dan Harapan ke Depan
Kontroversi ini merusak citra film nasionalis. Merah Putih: One for All seharusnya menginspirasi persatuan. Namun, dugaan plagiarisme mencoreng pesan tersebut.
Publik menuntut transparansi dari Perfiki Kreasindo. Klarifikasi resmi soal aset dan anggaran belum diberikan. Hal ini memperpanjang kekecewaan warganet.
Industri animasi Indonesia terdampak. Karya seperti Jumbo jadi standar tinggi. Film ini dinilai mundur dua dekade dibandingkan ekspektasi publik.
Sobat KabaRakyat, netizen menyarankan penayangan di YouTube. Biaya bioskop dinilai tak sepadan dengan kualitas. Namun, proses produksi sudah terlanjur.
Film ini tetap tayang 14 Agustus 2025. Publik berharap evaluasi menyeluruh dilakukan. Kreator diminta menghormati hak cipta dan meningkatkan standar produksi.
Kasus ini jadi pelajaran mahal. Animasi nasional butuh waktu, talenta, dan transparansi. Sobat KabaRakyat, masa depan perfilman Indonesia bergantung pada perbaikan ini.