Dedolarisasi Global: Mengapa Dunia Meninggalkan Dolar AS?

KabaRakyat.web.id - Dolar Amerika, selama puluhan tahun, menjadi tulang punggung perdagangan global. Namun, kini dunia menyaksikan perubahan diam-diam. Negara-negara mulai meninggalkan dolar secara sistematis.
Proses ini, sering disebut dedolarisasi, terjadi tanpa pengumuman besar. Negara-negara beralih ke mata uang lokal, emas, atau perjanjian baru. Sobat KabaRakyat, ini bukan perubahan kecil.
Cina memimpin gelombang ini dengan strategi jangka panjang. Mereka membangun sistem alternatif, menantang dominasi dolar tanpa konflik terbuka.
Langkah Strategis Cina di Panggung Global
Cina mengubah peta ekonomi melalui Belt and Road Initiative. Infrastruktur seperti pelabuhan dan rel kereta dibangun di berbagai negara.
Proyek-proyek ini, dari Sri Lanka hingga Kenya, memperkuat pengaruh Cina. Mereka mengendalikan rantai pasok global, mengurangi ketergantungan pada sistem Amerika.
Swapline yuan menjadi langkah kedua. Lebih dari 40 negara menukar mata uang langsung ke yuan, tanpa dolar. Sobat KabaRakyat, ini revolusi finansial.
Cina juga mengembangkan CIPS, sistem pembayaran alternatif pengganti SWIFT. Ini memungkinkan transaksi bebas dari pengawasan Washington.
Digital yuan menjadi langkah ketiga. Diuji di 20 kota, mata uang ini menarik minat negara seperti Arab Saudi untuk transaksi energi.
Negara-Negara Mengikuti Arus Dedolarisasi
Rusia, pasca-sanksi SWIFT, beralih ke yuan dan rubel. Lebih dari 80% perdagangannya dengan Cina dan India kini tanpa dolar.
Brazil dan Argentina memilih yuan untuk transaksi bilateral. Bank kliring yuan di Sao Paulo memudahkan perdagangan tanpa New York.
Arab Saudi mulai menjual minyak menggunakan yuan. Mereka juga berinvestasi di proyek Belt and Road, menjauh dari sistem petrodolar.
India, UEA, Pakistan, dan Turki menggunakan rupee, dirham, atau lira. Barter komoditas pun menjadi alternatif, mengesampingkan dolar.
Indonesia turut serta melalui Local Currency Settlement. Transaksi dengan Malaysia, Thailand, Jepang, dan Cina kini memakai rupiah. Sobat KabaRakyat, ini langkah besar.
Tantangan Amerika dan Masa Depan Ekonomi Global
Amerika menghadapi tantangan besar. Kenaikan tarif impor hingga 25% untuk produk Cina justru memicu inflasi domestik.
Pencetakan triliunan dolar untuk stimulus dan subsidi memperlemah nilai dolar. Defisit fiskal membengkak, mengguncang kepercayaan global.
IMF digunakan untuk mengunci negara-negara agar menjauh dari Cina. Namun, banyak negara berkembang lebih memilih efisiensi sistem Cina.
Dunia kini terbelah: Amerika dengan SWIFT dan dolar versus BRICS dengan yuan dan CIPS. Sobat KabaRakyat, sistem baru sedang terbentuk.
Eropa berada di posisi sulit. Sekutu Amerika, tetapi terdampak sanksi Rusia dan inflasi. Mereka mulai melirik alternatif dengan hati-hati.
Transisi global sedang terjadi. Dolar masih kuat, tetapi pondasi sistem baru sudah dibangun. Negara yang adaptif akan memimpin di era ini.