HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Siapa di Balik Proyek Pagar Bambu 30 Km yang Hebohkan Tangerang?

Siapa di Balik Proyek Pagar Bambu 30 Km yang Hebohkan Tangerang?

Banten, KabaRakyat.web.id - Laut pesisir Tangerang kini menjadi sorotan dengan keberadaan pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer yang disebut-sebut misterius. Fenomena ini tak hanya mengejutkan masyarakat, tapi juga memancing reaksi berbagai pihak, termasuk nelayan setempat yang menjadi saksi utama atas pembangunan pagar tersebut.

Menurut salah satu nelayan bernama Kholid, keberadaan pagar bambu tersebut mulai terlihat sejak lima bulan lalu. Awalnya, panjang pagar hanya sekitar tujuh kilometer, namun kini telah bertambah signifikan.

Pagar yang diduga dibangun secara bertahap ini tidak muncul begitu saja. Beberapa pekerja mengaku mendapatkan bayaran Rp100.000 per hari untuk memasang ribuan bambu tersebut. Namun, siapa sebenarnya yang mendanai dan memerintahkan pembangunan ini masih menjadi tanda tanya.

Ketika ditanya, Kholid menyebutkan bahwa proyek ini diyakini melibatkan pemodal besar. Ia juga mencurigai bahwa lahan yang dipagari tersebut kelak akan dijual, mengingat sudah ada ratusan Surat Hak Milik (SHM) yang disebut-sebut telah disiapkan.

Kecurigaan ini diperkuat oleh fakta bahwa masyarakat nelayan setempat tidak mungkin mampu membangun pagar sepanjang itu karena tingginya biaya yang diperlukan. Diperkirakan, lebih dari lima juta batang bambu telah digunakan, dengan biaya total mencapai miliaran rupiah.

Di sisi lain, ada spekulasi bahwa pagar ini dibangun sebagai upaya mencegah abrasi. Namun, Kholid menegaskan bahwa nelayan setempat tidak pernah merencanakan atau mendukung proyek tersebut.

Baginya, alasan abrasi hanyalah kedok dari tujuan yang lebih besar, seperti penguasaan wilayah oleh pihak tertentu. "Ini jelas melanggar. Negara harusnya hadir, tapi buktinya tidak ada tindakan tegas," ungkapnya dengan nada kesal.

Tak hanya itu, keberadaan pagar bambu ini juga membawa dampak buruk bagi aktivitas nelayan. Heru, salah satu nelayan lainnya, mengeluhkan kerusakan alat tangkapnya akibat terbentur pagar bambu.

Jaring yang digunakan untuk menangkap kepiting kini banyak yang sobek, bahkan besi penyangganya bengkok. "Baling-baling perahu kami sering rusak karena menabrak bambu yang hanyut. Ini sangat membahayakan, bahkan bisa mencelakakan kami," ujar Heru dengan nada prihatin.

Nelayan yang terhambat aksesnya untuk mencari ikan kini menghadapi penurunan hasil tangkapan yang signifikan. Jika biasanya mereka bisa membawa pulang 15 hingga 20 kilogram hasil tangkapan, kini hanya sekitar dua kilogram saja yang bisa didapat. Kondisi ini semakin memperburuk ekonomi nelayan yang bergantung sepenuhnya pada laut.

Sementara itu, intimidasi terhadap nelayan juga menjadi isu yang tak kalah serius. Beberapa nelayan mengaku sering mendapatkan ancaman dari pihak-pihak yang tak dikenal.

Ancaman tersebut berupa peringatan agar mereka tidak membahas atau menyebarkan informasi terkait keberadaan pagar bambu ini. "Mereka bilang, 'jangan macam-macam, kasihan anak istrimu'," ungkap Kholid menirukan salah satu telepon yang diterimanya.

Dari pantauan di lokasi, pagar bambu ini memiliki struktur yang rumit. Selain terdiri dari ribuan bambu yang ditancapkan, beberapa bagian sudah dilapisi dengan pelupuh atau gedek, serta tanah yang mulai mengeras.

Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa pagar ini bukan sekadar untuk mencegah abrasi, melainkan untuk tujuan komersial, seperti pengurukan lahan tambak atau reklamasi.

Keberadaan pagar ini memunculkan desakan dari masyarakat agar pemerintah bertindak tegas. Laporan telah diajukan ke Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi, namun hingga kini belum ada solusi konkret.

"Kalau nelayan kecil salah sedikit saja langsung ditangkap. Tapi kenapa untuk kasus sebesar ini, yang jelas melanggar, tidak ada tindakan nyata?" tegas Kholid.

Nelayan Tangerang kini berada dalam kondisi yang dilematis. Di satu sisi, mereka harus menghadapi tekanan ekonomi akibat terganggunya aktivitas melaut. Di sisi lain, intimidasi dari pihak-pihak tertentu membuat mereka sulit bersuara. Kholid bahkan menyatakan siap memimpin perlawanan terhadap korporasi atau pemodal besar yang diduga terlibat dalam proyek ini.

Keberadaan pagar bambu sepanjang 30 kilometer ini menjadi bukti nyata bahwa konflik kepentingan di laut bisa berdampak luas, bukan hanya bagi lingkungan tetapi juga bagi masyarakat kecil. Kini, masyarakat pesisir hanya berharap agar pemerintah segera turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini, sehingga laut kembali menjadi milik bersama, bukan segelintir pihak.

Posting Komentar