HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Apa Itu Brain Rot? Bahaya Konsumsi Konten Receh di Media Sosial

Apa Itu Brain Rot? Bahaya Konsumsi Konten Receh di Media Sosial

Sumatra Barat, KabaRakyat.web.id - Media sosial kini dibanjiri dengan konten receh dan tidak berkualitas, yang secara tidak sadar dapat memengaruhi kondisi mental penggunanya.

Fenomena ini dikenal dengan istilah Brain Rot, sebuah kiasan yang belakangan populer di dunia maya untuk menggambarkan kerusakan mental akibat konsumsi konten daring yang kurang bermutu.

Menurut psikolog Vinandita Utari, istilah Brain Rot tidak dikenal secara formal dalam psikologi. Namun, istilah ini digunakan untuk menggambarkan kondisi menurunnya kesehatan mental akibat konsumsi media sosial berlebih.

"Ini terjadi ketika seseorang terpapar konten tidak edukatif dalam jangka waktu panjang, sehingga otak kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan kreatif," jelasnya.

Meskipun konsumsi media sosial sesekali untuk hiburan tidak bermasalah, penggunaan berlebihan dapat menimbulkan dampak serius. Vinandita menyebutkan beberapa efek negatifnya, seperti ketergantungan (addiction), mood swing, hingga penurunan fungsi kognitif, seperti kemampuan berpikir kritis dan analitis.

Generasi muda, terutama Gen Z dan Alpha, menjadi kelompok yang paling rentan terpengaruh oleh fenomena ini. Paparan konten receh secara terus-menerus dapat melemahkan sinaps otak yang bertanggung jawab atas pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi.

"Ketika anak-anak ini beranjak dewasa, mereka mungkin kesulitan beradaptasi di dunia kerja atau pendidikan tinggi, karena kemampuan analitis dan daya kritisnya tidak terlatih," kata Vinandita.

Selain itu, kebiasaan ini juga berdampak pada perilaku, seperti kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain, menarik diri dari interaksi sosial, dan mengalami perubahan suasana hati yang drastis. "Dampaknya bahkan bisa memengaruhi relasi yang lebih luas, karena seseorang hanya memilih lingkungan yang mendukung kebiasaan buruk mereka," tambahnya.

Untuk menghindari Brain Rot, Vinandita menyarankan untuk membatasi konsumsi konten dengan durasi pendek dan instan, yang biasanya hadir dalam format video pendek. "Konten seperti ini membuat otak kita terbiasa dengan hal-hal yang serba cepat, sehingga kehilangan kemampuan untuk berpikir strategis dan jangka panjang," jelasnya.

Selain itu, konten yang memuat informasi tidak valid, sensasi, atau tindakan ekstrem juga harus dihindari. "Prank, misalnya, mungkin terlihat lucu, tetapi bisa memengaruhi nilai moral seseorang, terutama anak-anak," katanya.

Bagi keluarga, literasi digital menjadi langkah awal untuk mencegah Brain Rot. Orang tua harus aktif mendampingi anak saat menggunakan gawai, memberikan pemahaman tentang konten yang baik, serta menetapkan batas waktu (screen time). "Ajarkan anak untuk berdiskusi dan berpikir kritis, seperti menanyakan mengapa mereka tertarik dengan konten tertentu," saran Vinandita.

Jika seseorang sudah menunjukkan tanda-tanda Brain Rot, seperti kehilangan minat terhadap hal lain, mudah marah, atau mengalami stres berkepanjangan, konsultasi ke psikolog atau konselor profesional bisa menjadi solusi.

Fenomena Brain Rot mengingatkan kita akan pentingnya menggunakan media sosial secara bijak. Dengan membatasi konsumsi konten tidak berkualitas dan fokus pada hal-hal yang edukatif, kita dapat mencegah dampak buruknya terhadap kesehatan mental dan masa depan generasi muda.

"Anak-anak adalah masa depan bangsa. Kita harus mendukung mereka dengan memberikan akses ke konten yang mendidik dan mendorong pengembangan diri," tutup Vinandita.

Sumber: Diskusi bersama psikolog Finandita Utari dalam program “Halo Indonesia”.

Posting Komentar